Laman

Selasa, 21 Desember 2010

KH.AHMAD DJAZULI UTSMAN



Sang Blawong Pewaris Keluhuran
Dialah Mas’ud, yang mendapat julukan Blawong dari KH. Zainuddin. Kelak dikemudian hari ia lebih dikenal dengan nama KH. Achmad Djazuli Utsman, pendiri dan pengasuh I Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri.

Diam-diam KH. Zainuddin memperhatikan gerak-gerik santri baru yang berasal dari Ploso itu. Dalam satu kesempatan, sang pengasuh pesantren bertemu Mas’ud memerintahkan untuk tinggal di dalam pondok.
“Co, endang ning pondok!”
“Kulo mboten gadah sangu, Pak Kyai.”
“Ayo, Co…mbesok kowe arep dadi Blawong, Co!”
Mas’ud yang tidak mengerti apa artinya Blawong, hanya diam saja. Setelah tiga kali meminta, barulah Mas’ud menurut perintah Kyai Zainuddin untuk tinggal di dalam bilik pondok. Sejak itulah, Mas’ud kerap mendapat julukan Blawong.
Ternyata Blawong adalah burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu. Si Blawong itu dipelihara dengan mulia di istana Kerajaan Bawijaya. Alunan suaranya mengagumkan, tidak ada seorang pun yang berkata-kata tatkala Blawong sedang berkicau, semua menyimak suaranya. Seolah burung itu punya karisma yang luar biasa.
Ia lahir di awal abad XIX, tepatnya tanggal 16 Mei 1900 M. Ia adalah anak Raden Mas M. Utsman seorang Onder Distrik (penghulu kecamatan). Sebagai anak bangsawan, Mas’ud beruntung, karena ia bisa mengenyam pendidikan sekolah formal seperti SR, MULO, HIS bahkan sampai dapat duduk di tingkat perguruan tinggi STOVIA (Fakultas Kedokteran UI sekarang) di Batavia.
Belum lama Mas’ud menempuh pendidikan di STOVIA, tak lama berselang Pak Naib, demikian panggilan akrab RM Utsman kedatangan tamu, KH. Ma’ruf (Kedunglo) yang dikenal sebagai murid Kyai Kholil, Bangkalan (Madura).
“Pundi Mas’ud?” tanya Kyai Ma’ruf.
“Ke Batavia. Dia sekolah di jurusan kedokteran,” jawab Ayah Mas’ud.
“Saene Mas’ud dipun aturi wangsul. Larene niku ingkang paroyogi dipun lebetaken pondok (Sebaiknya ia dipanggil pulang. Anak itu cocoknya dimasukan ke pondok pesantren),” kata Kyai Ma’ruf.
Mendapat perintah dari seorang ulama yang sangat dihormatinya itu, Pak Naib kemudian mengirim surat ke Batavia meminta Mas’ud untuk pulang ke Ploso, Kediri. Sebagai anak yang berbakti ia pun kemudian pulang ke Kediri dan mulai belajar dari pesantren ke pesantren yang lainnya yang ada di sekitar karsidenan Kediri.
Mas’ud mengawali masuk pesantren Gondanglegi di Nganjuk yang diasuh oleh KH. Ahmad Sholeh. Di pesantren ini ia mendalami ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, khususnya tajwid dan kitab Jurumiyah yang berisi tata bahasa Arab dasar (Nahwu) selama 6 bulan.
Setelah menguasai ilmu Nahwu, Mas’ud yang dikenal sejak usia muda itu gemar menuntut ilmu kemudian memperdalam pelajaran tashrifan (ilmu Shorof) selama setahun di Pondok Sono (Sidoarjo). Ia juga sempat mondok di Sekarputih, Nganjuk yang diasuh KH. Abdul Rohman. Hingga akhirnya ia nyantri ke pondok yang didirikan oleh KH. Ali Imron di Mojosari, Nganjuk dan pada waktu itu diasuh oleh KH. Zainuddin.
KH. Zainuddin dikenal banyak melahirkan ulama besar, semacam KH. Wahhab Hasbullah (Pendiri NU dan Rais Am setelah KH. Hasjim Asy’ari), Mas’ud yang waktu itu telah kehabisan bekal untuk tinggal di dalam pondok kemudian mukim di langgar pucung (musala yang terletak tidak jauh pondok).
Selama di Pondok Mojosari, Mas’ud hidup sangat sederhana. Bekal lima rupiah sebulan, dirasa sangat jauh dari standar kehidupan santri yang pada waktu rata-rata Rp 10,-. Setiap hari, ia hanya makan satu lepek (piring kecil) dengan lauk pauk sayur ontong (jantung) pisang atau daun luntas yang dioleskan pada sambal kluwak. Sungguh jauh dikatakan nikmat apalagi lezat.
Di tengah kehidupan yang makin sulit itu, Pak Naib Utsman, ayah tercinta meninggal. Untuk menompang biaya hidup di pondok, Mas’ud membeli kitab-kitab kuning masih kosong lalu ia memberi makna yang sangat jelas dan mudah dibaca. Satu kitab kecil semacam Fathul Qorib, ia jual Rp 2,5,-(seringgit), hasil yang lumayan untuk membiayai hidup selama 15 hari di pondok itu.
Setelah empat mondok di Mojosari, Mas’ud kemudian dijodohkan dengan Ning Badriyah putri Kyai Khozin, Widang, Tuban (ipar Kyai Zainuddin). Namun rupa-rupanya antara Kyai Khozin dan Kyai Zainuddin saling berebut pengaruh agar Mas’ud mengajar di pondoknya. Di tengah kebingungan itulah, Mas’ud berangkat haji sekaligus menuntut ilmu langsung di Mekkah.
H. Djazuli, demikian nama panggilan namanya setelah sempurna menunaikan ibadah haji. Selama di tanah suci, ia berguru pada Syeikh Al-‘Alamah Al-Alaydrus di Jabal Hindi. Namun, ia di sana tidak begitu lama, hanya sekitar dua tahun saja, karena ada kudeta yang dilancarkan oleh kelompok Wahabi pada tahun 1922 yang diprakasai Pangeran Abdul Aziz As-Su’ud.
Di tengah berkecamuknya perang saudara itu, H. Djazuli bersama 5 teman lainnya berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah dengan berjalan kaki. Dalam perjalanan itu, H. Jazuli dan teman-temannya harus mengarungi padang pasir yang saat itu sedang musim panas-panasnya. Uniknya, setiap kehabisan bekal, H. Djazuli selalu mendapat kiriman makanan dari seorang lelaki asing, yang cukup untuk dimakan mereka berenam. Sampai akhirnya H. Djazuli dan kawan-kawannya itu ditangkap oleh pihak keamanan Madinah dan dipaksa pulang lewat pengurusan konsulat Belanda.
Sepulang dari tanah suci, Mas’ud kemudian pulang ke tanah kelahirannya, Ploso dan hanya membawa sebuah kitab yakni Dalailul Khairat. Selang satu tahun kemudian, 1923 ia meneruskan nyantri ke Tebuireng Jombang untuk memperdalam ilmu hadits di bawah bimbingan langsung Hadirotusy Syekh KH. Hasjim Asya’ri.
Tatkala H. Djazuli sampai di Tebuireng dan sowan ke KH. Hasjim Asya’ri untuk belajar, Al-Hadirotusy Syekh sudah tahu siapa Djazuli yang sebenarnya, ”Kamu tidak usah mengaji, mengajar saja di sini.” H. Djazuli kemudian mengajar Jalalain, bahkan ia kerap mewakili Tebuireng dalam bahtsul masa’il (seminar) yang diselenggarakan di Kenes, Semarang, Surabaya dan sebagainya.
Setelah dirasa cukup, ia kemudian melanjutkan ke Pesantren Tremas yang diasuh KH. Ahmad Dimyathi (adik kandung Syeikh Mahfudz Attarmasiy). Tak berapa lama kemudian ia pulang ke kampung halaman, Ploso. Sekian lama Djazuli menghimpun “air keilmuan dan keagamaan”. Ibarat telaga, telah penuh. Saatnya mengalirkan air ilmu pegetahuan ke masyakrat.
Dengan modal tekad dan semangat yang kuat untuk menanggulangi kebodohan dan kedzoliman, ia pun mulai mengembangkan ilmu yang dimilikinya. KH. Achmad Djazuli Utsman kemudian merintis jalan dakwah dengan mengadakan pengajian-pengajian kepada masyarakat Ploso dan sekitarnya. Hari demi hari ia lalui dengan semangat istiqamah menyiarkan agama Islam.Hal ini rupanya menarik simpati masyakarat untuk berguru kepadanya. Satu demi satu santri berdatangan, untuk menimba ilmu dari majelis Al-Falah, Ploso.
Sampai akhirnya ia mulai merintis sarana tempat belajar untuk menampung murid-murid yang saling berdatangan. Pada awalnya hanya dua orang, lama kelamaan berkembang menjadi 12 orang. Hingga pada akhir tahun 1940-an, jumlah santri telah berkembang menjadi sekitar 200 santri dari berbagai pelosok Indonesia. Pada jaman Jepang, ia pernah menjabat sebagai wakil Sacok (Camat). Di mana pada siang hari ia mengenakan celana Goni untuk mengadakan grebegan dan rampasan padi dan hasil bumi ke desa-desa. Kalau malam, ia gelisah bagaimana melepaskan diri dari paksaan Jepang yang kejam dan biadab itu.
Kekejaman dan kebiadaban Jepang mencapai puncaknya sehingga para santri selalu diawasi gerak-geriknya, bahkan mereka mendapat giliran tugas demi kepentingan Jepang. Kalau datang waktu siang, para santri aktif latihan tasio (baris berbaris) bahkan pernah menjadi Juara se-Kecamatan Mojo. Tapi kalau malam mereka menyusun siasat untuk melawan Jepang. Demikian pula setelah Jepang takluk, para santri kemudian menghimpun diri dalam barisan tentara Hisbullah untuk berjuang.
Selepas perang kemerdekaan, pesantren Al-Falah baru bisa berbenah. Pada tahun 1950 jumlah santri yang datang telah mencapai 400 santri. Perluasan dan pengembangan pondok pesantren, persis meniru kepada Sistem Tebuireng pada tahun 1923. Suatu sistem yang dikagumi dan ditimba Kyai Djazuli selama mondok di sana.
Sampai di akhir hayat, KH. Ahmad Djazuli Utsman dikenal istiqomah dalam mengajar kepada santri-santrinya. Saat memasuki usia senja, Kyai Djazuli mengajar kitab Al-Hikam (tasawuf) secara periodik setiap malam Jum’at bersama KH. Abdul Madjid dan KH. Mundzir. Bahkan sekalipun dalam keadaan sakit, beliau tetap mendampingi santri-santri yang belajar kepadanya. Riyadloh yang ia amalkan memang sangat sederhana namun mempunyai makna yang dalam. Beliau memang tidak mengamalkan wiridan-wiridan tertentu. Thoriqoh Kyai Djazuli hanyalah belajar dan mengajar “Thoriqohku adalah ta’lim wa ta’allum,”katanya berulangkali kepada para santri.
Hingga akhirnya Allah SWT berkehendak memanggil sang Blawong kehadapan-Nya, hari Sabtu Wage 10 Januari 1976 (10 Muharam 1396 H). Beliau meninggalkan 5 orang putra dan 1 putri dari buah perkawinannya dengan Nyai Rodliyah, yakni KH. Achmad Zainuddin, KH. Nurul Huda, KH. Chamim (Gus Miek), KH. Fuad Mun’im, KH. Munif dan Ibu Nyai Hj. Lailatus Badriyah. Ribuan umat mengiringi prosesi pemakaman sosok pemimpin dan ulama itu di sebelah masjid kenaiban, Ploso, Kediri. Konon, sebagian anak-anak kecil di Ploso, saat jelang kematian KH. Djazuli, melihat langit bertabur kembang. Langit pun seolah berduka dengan kepergian ‘Sang Blawong’ yang mengajarkan banyak keluhuran dan budi pekerti kepada santri-santrinya itu.

ANAK PEGAWAI NEGERI
ANAK PEGAWAI NEGERI

Setiap Kamis sore si Konang meluncur dengan kecepatan sedang, keluar dari Ndalem Pengulon (rumah kepala KUA) di Ploso. Kuda gagah dan sehat itu dengan setia menarik dokar milik Pak Naib. Pemandangan ini tentu saja sangat menarik pada pertengahan abad 19. Dimasa kendaraan rnodern belum berkembang itu, dokar termasuk jenis kendaraan langka dan mewah, bayangkan saja di Ploso hanya ada dua buah dokar yang dimiliki penduduk.

Kemanakah Pak Naib bersama si konang dan dokarnya pergi setiap Kamis sore? Rupa‑rupanya Mas Moh. ‘Ustman bin Mas Moh. Sahal yang lebih populer dengan sebutan Pak Naib itu telah memiliki kebiasaan rutin yang dilakukannya sampai menjelang wafatnya. Kisahnya bermula dari pertemuannya dengan KH. Ma’ruf Kedunglo, seorang lulama yang masih ada hubungan famili dengannya. Suatu ketika KH. Ma’ruf memberi saran : “Utsman ! apabila kamu ingin anak‑anakmu kelak menjadi orang yang berilmu, beramal dan bermanfaat, rajin‑rajinlah bersilaturrahmi dengan para ‘alim ‘ulama. Kalau tidak anakmu, Insya Alloh cucumu yang alim.” Begitulah nasihat KH. Ma’ruf yang identik dengan ungkapan Syaikhul Imam Sadiduddin Asy‑Syairaziy dalam kitab Ta’limul muta’allim sebagai berikut:
من اراد ان يكون ابنه عالما فاليكرم الغرباء من الفقهاء وان لم يكن ابنه عالما فحافدوه عالما (تعلم المتعلم)

Sejak itulah Pak Naib menjalani kebiasaan rutinnya berangkat setiap sore Kamis menuju rumah-rumah ‘ulama secara silih berganti sejauh yang mampu dijangkau oleh kuda yang bernama si KONANG, terkadang beliau baru pulang setelah larut malam.[1]

Kekhawatiran Pak Naib akan masa depan putra-putrinya sangat beralasan, betapa tidak, dari pernikahannya dengan Mas Ajeng Muntoqinah binti M. Syafi’i beliau dikaruniai tujuh orang putra dan enam orang putri. Jumlah tiga belas orang merupakan jumlah yang cukup besar dan perlu pemikiran serius. Ketigabelas putera dan puteri tersebut adalah :
1. Iskandar                                  8. Masjhud
2. Zarkasi                                    9. Ardani
3. Miftahul ‘arifin                        10. Siti Roihah
4. Siti Maimunah (Bu Soleh)       11. Siti Fatonah
5. Siti Halimah                            12. Siti Aminah
6. Abdulloh                                13. Bairudin
7. Mas’ud (KH. Ahmad Djazuli)

Yang menjadi kekhawatiran Pak Naib bukanlah masa depan duniawi, karena sebagai golongan ambtenar (pegawai negeri) di zaman Belanda akan mudah mendapat fasilitas masuk sekolah dan akhirnya diberi kesempatan untuk menjadi pegawai negeri. Sebagaimana nasib dirinya yang tak mengalami banyak kesulitan untuk diangkat menjadi naib semata‑mata karena ayahnya adalah seorang naib.

Ayahnya itu bernama Mas Moh. Sahal penghulu naib distrik Mojoroto Kediri, yang sejak masih muda sudah menjadi sekretaris naib sehingga orang memanggilnya “TIB JOKO” (Berasal dari Katib Joko = Sekretaris yang masib jejaka). Anehnya panggilan ini tetap melekat sampai tua, meskipun beliau sudah lama naik pangkat menjadi penghulu naib.

Identitas keluarga pegawai bagi Pak Naib Utsman dan putra putrinya semakin kental, disebabkan Ajeng Muntoqinah (istrinya) adalah keturunan penghulu Distrik Brebek Nganjuk, Namanya Mas Moh. Syafi’ie. [2]

Harapan Pak Naib tentang nasib dunia putra‑putranya bukanlah harapan yang kosong, sebab kelak dikemudian hari Bupati Danu Diningrat yang menguasai wilayah karesidenan Kediri benar‑benar meluluskan SK kepegawaian empat orang putra Pak Naib yaitu Iskandar, Zarkasi, Miftah dan Masyhud. Pengangkatan pegawai negeri atas pertimbangan keturunan (Familier System ) sangat menonjol pada zaman Belanda.

Sesungguhnya masa depan yang menjadi pemikiran Pak Naib adalah masa depan yang amat panjang di akhirat nanti. Bukankah sebagai orang tua beliau dituntut bertanggungjawab terhadap iman dan agama anak‑anaknya? Lebih‑lebih beliau hidup bersama anak‑anaknya di Ploso, satu lingkungan yang tidak mendorong sama sekali terhadap kehidupan beragama. Bagaimana jadinya apabila putra‑putrinya tidak dibekali dengan iman dan akhlak alkarimah? Bagaimana perjalanan hidup anak‑anaknya bila tidak diiringi do’a dan ridlo orang tua serta barokah ‘ulama?

Kiranya saran KH. Ma’ruf sangat tepat dan meresap di kalbu Pak Naib, dan itulah yang dijalankannya demi masa depan putra‑putrinya.

SI KECIL YANG PENDIAM [3]

Mas’ud, demikian nama kecil KHA. Djazuli Utsman, dilahirkan pada tanggal 16 Mei 1900 di Ploso. Di desa yang ramai dengan aneka kemaksiatan itulah dia dibesarkan. Namun lingkungan Ploso yang rusak memiliki hikmah yang tersendiri baginya. Sebab orang tuanya memberikan pengawasan dan bimbingan super ketat penuh kewaspadaan, sejak kecil ditanamkan disiplin yang tinggi dan terus menerus disiramkan bekal keimanan kedalam jiwanya yang baru tumbuh. Lebih‑lebih ayahnya memang dikenal sebagai orang yang berwatak keras, ditambah dengan gaya pendidikan yang dipakainya adalah pendidikan Belanda yang tidak jauh berbeda dengan gaya pendidikan militer yang penuh disiplin, ketat dan streng.

Halaman rumah pak Asrab tergolong sangat luas buat tempat bermain bagi anak‑anak kampung, disamping letaknya yang strategis di pusat desa. Tempat yang terletak berseberangan jalan dengan rumah Pak Naib itu (± 200 m ke arah Selatan) tak pernah lowong dari kurnpulan anak-anak kampung yang tengah melampiaskan kebebasan masa kecilnya. Sepak bola, kasti, nekeran (main kelereng), cirak (main kemiri) dan lain‑lain permainan dilakukan dengan suka cita dan tawa riang. Mereka main sepanjang hari karena kebanyakan rnereka tidak bersekolah. Sungguh senang anak‑anak itu, mereka dapat rnenikmati masa kecilnya dengan bebas tanpa ikatan apapun.

Seringkali Mas’ud bersama saudara‑saudaranya datang ke tempat tersebut untuk turut bermain bersama teman-teman sebayanya. Putra‑putra Pak Naib itu diterima dengan senang hati oleh anak‑anak yang tengah bermain. Mereka lebur jadi satu, seolah‑olah tak ada jurang pemisah diantara mereka, memang putra‑putra Pak Naib termasuk pandai menghormati teman yang lain, begitulah yang ditanamkan oleh ayahnya, Pak Naib Utsman setiap hari.

Abdulloh, Masjhud, Ardani dan kawan‑kawan bermain sepak bola, terkadang bermain kasti. Mereka bermain dengan begitu lincah dan cekatan. Namun berbeda dengan Mas’ud, Putra Pak Naib yang satu ini tak begitu suka dengan permainan keras, dia lebih senang dengan nekeran dan cirak. Permainan ini nampak ringan, kecil dan sepele. Namun bila kita perhatikan, bagaimana membidikkan kelereng satu agar tepat mengenai sasarannya ternyata bukanlah hal yang gampang. Begitu juga dengan permainan cirak, bagaimana mungkin sebiji kemiri yang ada di tangan menyentuh kemiri yang terletak di tanah dengan lemparan tangan dari jarak yang cukup jauh, kalau tidak mengerahkan konsentrasi penuh dan kejelian yang tinggi, belum aturanaturan permainannya yang amat rumit menyerupai permainan bilyard modern. Billyard dan golf tergolong permainan elit yang sangat penting bagi para eksekutif (pimpinan). Tak kurang dari para Presiden, Menteri‑menteri, Direktur‑direktur utama menyisihkan waktunya untuk datang ke gelanggang karena dengan permainan tersebut mereka bisa refresing dan menumbuhkan gairah kerja baru untuk mensukseskan tugas penting.

Rupanya permainan nekeran dan cirak amat tepat bagi Mas’ud si kecil yang pendiam tak ada orang tahu bahwa dibalik diamnya Mas’ud tersimpan mutiara kehebatan. Tak pernah disangka kalau kelereng dan kemiri merupakan awal keberangkatan pribadinya untuk menjadi orang yang luar biasa di kemudian hari.

Bahkan karena pendiam dan suka mengalah terhadap anak‑anak yang nakal, Mas’ud disepelekan dan dianggap bodoh serta tolol oleh Miftah, kakaknya sendiri. Namun ternyata tuduhan kakaknya diterima dengan penuh lapang dada, dijadikannya sebagai cambuk untuk lebih tekun menata pribadinya dan mempertinggi cita‑citanya.

Matahari hampir menempel di ketinggian gunung Wilis yang berada diarah barat Ploso, sebentar lagi matahari akan tenggelam dan gelaplah seluruh desa. Namun kumpulan anak‑anak yang tengah asyik bermain itu tak perduli. Mereka terus bermain dan bermain. Tiba‑tiba Abdulloh, Mas’ud, Masyhud dan Ardani keluar dari permainan dan segera pulang. Putra‑putra Pak Naib ini tak dapat turut bermain sampai selesai, tidak sebebas anak‑anak yang lain. Apabila mereka tidak pulang sampai batas waktu yang telah ditentukan pasti Pak Naib akan bertindak keras menghukum mereka.

Sesungguhnya Pak Naib mengerti bahwa masa kecil adalah rnasa indah, karena itulah beliau tak dapat mengurung anak‑anaknya bagaikan burung dalam sangkar sepanjang hari. Kebebasan bermain perlu diberikan, Namun dibalik itu beliau sadar babwa masa kecil adalah masa untuk membentuk pribadi, masa penentuan warna bagi anak‑anaknya yang masih polos, kebebasan harus ada batasnya.

Iman, akhlaq, serta disiplin perlu ditanamkan sejak usia masih dini.

DI BANGKU SEKOLAH UMUM

Putra Naib ingin menjadi dokter

Dengan surat keputusan tanggal 8 Maret 1819, gubernur jendral Van der Capellen memerintahkan mengadakan penelitian tentang pendidikan masyarakat Jawa, dengan tujuan meningkatkan kemampuan membaca dan rnenulis di kalangan mereka. Namun hasil penelitian tersebut tidak segera dilaksanakan, mungkin pemerintah kolonial Belanda masih ingin melihat bangsa Indonesia tetap bodoh dan lernah sehingga mudah ditindas. Hampir seabad kemudian barulah rencana tersebut direalisir, tepatnya pada tahun 1870 pemerintah kolonial Belanda melaksanakan ethische politick (Politik balas budi). Inspektur pendidikan pribumi segera dibentuk dan dibukalah pendidikan rakyat pada tahun 1888. Sekolah‑sekolah yang dibentuk Belanda ini hanya mengajarkan ilmu‑ilmu umum, tujuannya semata‑mata memenuhi kebutuhan pernerintah Belanda untuk mencetak pegawai‑pegawai yang setia kepada pemerintahnya. Tidak sembarang rakyat dapat masuk sekolah, pemerintah kolonial hanya memberi kesempatan kepada kelornpok kecil bangsa Indonesia yang terdiri dari anak‑anak pegawai, bangsawan dan tuan‑tuan tanah.[4]

Nampaknya Belanda sangat khawatir akan munculnya orang‑orang pintar yang akan tarnpil sebagai pelopor dan pejuang bangsa untuk menggulingkan kekuasaan penjajah. Karenanya kesempatan belajar sangat dibatasi, demi melestarikan kekuasaan dan penjajahan.

Mas’ud termasuk anak yang beruntung, begitu juga anak‑anak Pak Naib yang lain. Setidaknya ada dua faktor yang memudahkan dirinya masuk sekolah. Pertama karena ia putra pegawai negeri dan kedua karena gelar MAS yang tercantum di depan namanya merupakan gelar bangsawan yang diakui secara hukum oleh pemerintah kolonial.

Hari demi hari Mas’ud terus berkembang seperti anak-anak yang lain. Usianya memasuki 6 ‑ 7 tahun ketika petugas sekolah memerintahkan kepadanya untuk melingkarkan tangan kanan diatas kepala sehingga menyentuh telinga kiri. Alhamdulillah, telinga itu telah tersentuh dan resmilah ia diterima sebagai murid Sekolah Desa di Ploso. Hanya itulah testing baginya, sekedar untuk menentukan usia bisa masuk sekolah di tingkat dasar.

Sekolah desa sering disebut Sekolah jawa karena memakai bahasa Jawa, sebagaimana halnya madrasah-madrasah yang disebut dengan nama Sekolah Arab, karena mengajarkan huruf dari bahasa Arab, khususnya sekolah desa Ploso lebih dikenal dengan nama Sekolah Cap Jago. Sekolah satu‑satunya diwilayah onder distrik Ploso ini diperuntukkan bagi lima desa yaitu Ploso, Tambi Bendo, Kraton, Kedawung dan Maesan. Masing‑masing desa diberikan jatah hanya lima orang anak yang dapat masuk sekolah. Begitulah sulitnya memperoleh pendidikan dimasa penjajahan.

Tiga tahun lamanya Mas’ud duduk dibangku cap jago dan kemudian ia meneruskan ke Inlandsche Vervolgshool, suatu sekolah lanjutan dengan masa pendidikan selama dua tahun.[5]

Agaknya Mas’ud semakin rajin dan tekun belajar, tidak pernah ia mengandalkan atau membanggakan kecerdasan Otak yang dimilikinya. Hampir seluruh waktunya untuk belajar. Pikirannya mulai sadar bahwa bimbingan dan pengarahan ayahnya yang keras dan disiplin sejak ia masih kecil tak perlu diterirna dengan perasaan jengkel atau terpaksa menurut lantaran takut dimarahi. Ayahnya adalah benar, semuanya dilakukan orang tua itu demi kebaikan putranya, demi masa depan buah hatinya. Oleh karena itu ia kini lebih banyak menimang‑nimang buku, ketimbang kelereng atau kemiri.

Setelah Inlandsche Vervolgschool diselesaikannya dengan angka memuaskan Mas’ud melanjutkan ketingkat SLTA, dia masuk Hollandsch‑Inlandsche School (HIS) di Cringging ‑ Grogol Kediri, Sekolah ini lebih dikenal dengan sebutan sekolah ongko kaleh. Lagi‑lagi pemuda Mas’ud termasuk murid yang menonjol dalam pelajaran. Bahasa Belanda dikuasainya dengan baik, begitu juga aljabar (matematika), Ilmu ukur dan pelajaran‑pelajaran yang lain. Terbuktilah diamnya Mas’ud adalah laksana lautan tenang dan dalam yang menyimpan banyak mutiara, hal ini membuat Pak Naib Utsman sangat bersyukur dan bangga melihat prestasi anaknya yang satu ini. Sejak itu Mas’ud mendapat tempat tersendiri di hati ayahnya.[6]

Sebagaimana telah disinggung di muka, Pak Naib nampaknya telah mempersiapkan putra‑putranya untuk terjun sebagai pegawai negeri. Itulah sebabnya Iskandar, Zarkasi, Miftah, Abdulloh, Masyhud dan lain-lain tidak melanjutkan ke tingkat pendidikan yang tinggi‑tinggi, bahkan ada yang berhenti hanya sampai sekolah desa. Setelah itu putra-putra Pak Naib ini dimasukkan ke pesantren. Sebagai caIon‑calon naib mereka disyaratkan memiliki bekal ilmu agama sekedamya, karena seorang naib adalah pemimpin formal dalam bidang agama di tengah‑tengah masyarakat yang dituntut untuk faham dengan permasalahan‑permasalahan agama yang digelutinya. Namun yang paling pokok, Pak Naib ingin anak‑anaknya memahami ilmu-ilmu agama, akidah yang kuat dan akhlak yang mulia. Sebab di sekolah‑sekolah Belanda kurikulum yang diajarkan seratus persen menjurus kepada ilmu‑ilmu dunia yang sekuler, tidak membahas masalah ketuhanan, wawasan kebangsaan dan akhlaq alkarimah. Bahkan yang lebih ditekankan adalah ketrarnpilan‑ketrampilan administrasi bukannya keilmuan. Memang tujuan pendidikan Belanda adalah untuk mencetak pegawai yang setia kepada pemerintahannya.

Akan tetapi pak naib mempunyai rencana istimewa untuk Mas’ud, karena putra yang satu ini mempunyai prestasi yang memuaskan, tekun belajar dan baik budi bahasanya, lnilah calon pembawa harum nama keluarga di kemudian hari, dia harus diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan setinggi mungkin. Setelah diadakan rembukan keluarga Mas’ud diizinkan melanjutkan studi ke Stovia (Fakultas Ul) sekarang di kota Batavia (Jakarta). Berangkatlah ia dengan menumpang kereta api diantarkan beberapa orang keluarga. Sungguh hal yang langka di zaman itu, sehingga banyak orang merasa kagum, tak ketinggalan kepala stasiun Kediri memerlukan diri untuk memberi hormat ketika sang calon mahasiswa sampai di stasiun. Seorang calon dokter terhormat dan orang penting di tengah-tengah bangsa yang melarat, sebuah jabatan yang akan meningkatkan status sosial menuju strata yang amat bergengsi.[7]
FIRASAT SANG KYAI MA’RIFAT

Tak lama berselang Pak Naib kedatangan tamu. Kyai Ma’ruf Kedunglo, seorang ‘ulama yang dihormatinya datang berkunjung, sungguh Pak Naib merasa suka cita mendapat kehormatan dikunjungi kyai. Pak naib memang terkenal sebagai orang yang sangat menghormati ‘ulama. Status pegawai negeri dan gelar bangsawan yang disandangnya tak pernah membuat dirinya sombong atau meremehkan para kyai, tidak seperti umumnya sikap pegawai-pegawai Belanda. Pegawai Belanda biasanya ikut‑ikutan kepada Belanda tulen yang lebih menghormati priyayi (bangsawan) ketimbang ‘ulama. Karena strategi kepemimpinan pemerintah kolonial Belanda adalah lebih mengfungsikan tokoh masyarakat yang priyayi dan melakukan permusuhan terhadap para ‘ulama seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar dan sebagainya.

Saking hormatnya kepada ‘ulama, konon Pak Naib suka memelihara ayam jago yang sudah dikebiri. Ayam yang menjadi gemuk dan empuk dagingnya itu sengaja disiapkannya untuk suguhan apabila ada kyai‑kyai yang datang ke rumahnya. Para tamu yang ‘ulama selalu diperlakukannya dengan sangat mulia, untuk memberikan pelayanan yang prima Pak Naib ikhlas berkorban apa saja, bahkan sampai menjual pakaiannya apabila tidak punya uang. Tatkala sang kyai kelihatan penat atau ngantuk dipersilahkannya istirahat di kamar dan Pak Naib akan sangat berbahagia apabila sang kyai berkenan bermalam di rumahnya. Penghormatannya hampir menyerupai pelayanan hotel berbintang lima. Betapa tidak, seluruh putra-putranya harus turut menghormat kepada kyai bahkan ketika kyai sedang tidur tak seorangpun yang diperkenankan memasuki rumah demi ketenangan dan ketentraman sang tamu. Tidak sampai disitu penghormatan Pak Naib, salah seorang putranya ditugaskan untuk piket menjaga kyai yang tengah tidur, kalau‑kalau ditengah malam ada keperluannya. Apabila sang Kyai merasa sungkan atau enggan dengan penghormatan tersebut (istirahat atau tidur di ruangan pribadi Pak Naib), maka Pak Naib tak segan‑segan membongkar ranjang dan kasur Ialu dikeluarkan ke tempat yang dikehendaki oleh Kyai, begitulah perangai Pak Naib dan suasana seperti itulah yang berlangsung tatkala Kyai Ma’ruf berkunjung, suasana sopan, ramah penuh kekeluargaan.[8]

“Pundi Mas’ud?”, tanya Kyai Ma’ruf mengawali pembicaraan dengan bahasa Jawa yang halus menanyakan kemanakah Mas’ud. Pak Naib menjawab: “Ke Batavia, dia melanjutkan sekolah di jurusan kedokteran”. Lalu dengan gayanya yang khas Kyai Ma’ruf mulai memberikan saran “Saene Mas’ud dipun aturi wangsul, larene niku ingkang prayogi dipun lebetaken pondok”. (Sebaiknya ia dipanggil pulang, anak itu cocoknya dimasukkan pondok pesantren), kata Kyai Ma’ruf. Rupanya beliau memiliki firasat tentang diri Mas’ud, agaknya beliau mengerti apa yang pantas bagi masa depan putra Pak Naib itu.

Dapatkah ungkapan Kyai Ma’ruf itu dipercaya dan dijadikan pegangan? Rupanya akal tidak dapat menerima ramalan nasib semacam itu. Secara rasional masyarakat modern banyak yang meninggalkan dan tidak mempercayai akan karomahnya para wali dengan alasan tidak masuk akal (tidak rasional). Mereka hanya mau mempercayai kepada barang‑barang yang bisa di indera. Ketahuilah bahwa Kyai Ma’ruf adalah salah seorang murid sukses Kyai Kholil Bangkalan yang sangat tersohor kewaliannya. Dan sesungguhnya para ‘ulama telah sepakat bahwa setiap insan tidak hanya memiliki mata lahiriyah (mata kepala) saja, tetapi juga memiliki mata bathiniyah (mata hati). Mata bathiniyah penglihatannya lebih tajam dari pada mata lahiriyah. Kalau mata lahiriyah hanya dapat melihat wama, bentuk benda, sinar dan sebagainya dari jarak yang dekat. Sedangkan mata bathiniyah dapat menjangkau hal‑hal yang tak terbatas sampai ke alam metafisika (alam ghoib) dan dapat pula menjangkau peristiwa‑peristiwa yang belum terjadi. Hal tersebut bilamana dimiliki oleh hamba Allah yang sholeh namanya Ma’unah, dan bila dimiliki oleh para wali namanya Karomah, bilamana dimiliki para nabi namanya Mu’jizat, tapi bilamana dimiliki oleh orang yang dzolim namanya Istidroj. Kyai Ma’ruf adalah salah satu diantaranya yang memiliki penglihatan melebihi Teleskop teropong bintang milik Badan Meteorologi dan Geofisika sekalipun. Jadi Kyai ‘Arif tersebut bukanlah tukang tenung, ahli nujum, dukun atau peramal nasib, tapi itu semua ma’unah. yang diberikan oleh Allah SWT. Karena itulah Pak Naib tidak bisa berbuat apa‑apa, selain menyetujui saran tersebut meskipun hal ini diluar pertimbangan akalnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar